Tuesday, December 06, 2005

Lebaran 2002 - Wafatnya Ibu (1)

6 Desember 2002

Hari ini tiga tahun yang lalu.... bertepatan juga dengan hari lebaran.

Subuh

Bangun tidur, langsung mandi, dan buru-buru ke RS Advent. Hari itu bertepatan dengan hari Lebaran. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk sholat Ied. Karena hari itu saya berhalangan, maka sesuai kesepakatan saya harus secepat sampai di RS Advent pagi itu untuk menggantikan kedua kakak saya yang jaga Ibu di ruang ICU.

Angkot susah dicari, mungkin mereka juga mempersiapkan diri. Ditemani Leni, sepupu yang kuliah di Bandung waktu itu, saya berusaha juga mencari taxi, namun tetap tidak ada. Akhirnya perjalanan ke RS Advent dari Cibeunying memerlukan waktu hampir satu jam pagi itu menggunakan angkot.

Berdua jaga ibu pagi itu diruang ICU. Kondisi ibu saat itu sudah bisa dibilang kritis, hmm bahkan tidak ada respon apapun setelah semalam cuci darah. Malam takbiran, malam sebelumnya, saya habiskan waktu di ruang ICU itu menemani beliau cuci darah *paksa* karena dilakukan dengan tanda tangan dari kakak pertama saya, bukan kehendak beliau lagi. Sudah seminggu beliau tak sadarkan diri.

Jam 10 Pagi

Setelah sholat Ied, keluarga kakak-kakak, mas Agus dan Bilah datang ke rumah sakit. Saya bersalaman di ruang tunggu ICU. Mereka membawakan ketupat dan beberapa macam lauk untuk saya dan Leni yang tidak sempat sarapan tadi. Dari rumah sakit saya telepon ke orang tua mas Agus (di Kebasen) untuk bersilahturahmi dan mohon maaf, ntah kapan bisa berkunjung ke mereka karena saya masih ingin menemani ibu. Alhamdulillah mereka mengerti.

Tak berapa lama, datang juga tante-tante yang di Bandung dan keluarganya. Jam besuk pagi itu penuh... tiap orang ingin bersalaman dan cium tangan ke ibu. Banyak yang berkunjung, pagi itu kami masing-masing cuma bisa sekali masuk ke ICU karena harus gantian.

Is (kakak pertama) bilang... mau balik ke Jakarta dulu ya, kerumah mbak Lya (kakak ipar). Mau ke mertua dulu ya. Saat itu... saya ingin menahan dia untuk tetap di Bandung. Cuma... ada rasa segan, karena ada mbak Lya disitu (gak enak ama ipar). Sebelum Is pergi, dia sempat bilang ke saya.. 'coba kamu nanya dong ke dokternya... apa ibu gak tersiksa dengan kondisi demikian? apa gak baiknya di(----cut----)?' Saya sedih... marah dengernya 'Kalau suruh nanya kondisinya gak apa-apa, tapi mempertanyakan untuk di(----cut----), gak mau. Gak akan mau sampai kapanpun! Kalau Allah menghendaki beliau Insya Allah dengan sendirinya Is'.

Pecah lagi... nangis. Ini sudah kesekian kalinya kami bertengkar masalah kasihan dan takdir serta apa yang harus dilakukan saat melihat ibu 'tersiksa' dengan selang-selang dan kondisi tubuh yang makin kurus, tak sadarkan diri. Doa saya 'Ya Allah ... jangan menyiksa ibu, beliau ibu yang paling baik dan gak pernah menyiksa anak-anaknya dan juga orang lain. Kalau menghendaki sembuh, segerakanlah, jangan dengan penderitaannya.'

Nangis.... di ruang tunggu ICU RS Advent.

Sore

Jam besuk sore saya, Leni, dan Wak Yin (kakak Ibu) jaga bertiga. Tidak ada pengunjung lain selain kami bertiga. Semua sibuk lebaran. Is jadi balik ke Jakarta bersama anak-anaknya. Bim (kakak kedua) sekeluarga ke rumah mertuanya. Sepi! Sepi! Kami bertiga dapat bergantian masuk selama 1 jam penuh, menemani ibu.

Sore itu AC diruang ICU sempat dibetulkan, sehingga harus dimatikan dulu beberapa waktu. Jendela kamar dibuka oleh suster rumah sakit agar tak terlalu panas. Udara segar dari taman rumah sakit membuat suasana lebih sejuk. Tiba-tiba seekor kupu-kupu masuk dan hinggap di kaki ibu. Wak Yin berusaha mengusirnya... 'menurut adat cina, gak baik kalau orang sakit kedatangan kupu-kupu' katanya. Jadi ingat film Putri Wang Shue (bener gak nulisnya ya?), film kegemaran ibu, digambarkan di film itu saat sang putri wafat kupu-kupu datang menjemput arwahnya.

Jam 7 malam

Kami masih bertiga diruang tunggu ICU. Bim dan mbak Dina yang sedianya mau gantikan jaga belum datang juga. Hujan deras di hari lebaran itu.

Tiba-tiba muncul seorang suster.. 'Keluarga Ibu Sinta?' Saya kaget langsung berdiri. 'Tolong anda cari darah secepatnya bawa kesini ya. Ini surat buat PMI. Cepatnya. Harus sekarang' kata-kata si suster langsung bikin gemetar kaki. Bingung... saya telpon ke rumah. Bim dan mbak Dina sudah berangkat. Saya kabarkan perlu pendonor golongan darah O, sekarang juga. Saya telpon beberapa anggota keluarga yang saya tahu golongan darahnya O, semua sedang keluar. Mungkin karena hari itu hari lebaran. Telpon semua teman-teman Leni, yang dia tahu bukan muslim dan tetap tinggal di Bandung.

Setelah Bim dan mbak Dina sampai di rumah sakit, kami bertiga pulang ke rumah naik taksi yang kebetulan kosong lewat di depan rumah sakit. Sampai dirumah ada dua menantu bu Husna (tetangga depan rumah) yang golongan darahnya O. Tanpa menunggu, kami pergi ke PMI.

Saat itu... Bilah menangis 'ibu gak boleh pergi lagi.. belum main sama bilah' Deg... memang seminggu sejak saya pulang dari Jerman mendadak, saya cuma di rumah sakit saja. Belum pernah bermain dengannya. Tambah pengin nangis rasanya. Fajar (kakak iparnya) memeluk Bilah sambil berkata 'Dik... biar ibu nganterin ke PMI dulu, cari darah buat Eni' (nenek). Kalau nggak ntar eni' meninggal lho'. Sempat deg... terharu juga kami mendengar kata-kata Fajar. Dengan kata-kata itu Bilah akhirnya luluh membiarkan saya pergi ke PMI bersama Leni dan kedua menantu bu Husna.

(bersambung)