Thursday, December 08, 2005

Lebaran 2002 - Wafatnya Ibu (2)

Jam 7 malam

Kami segera berangkat ke PMI Bandung di Jalan Aceh. Masih naik taksi yang sama dari rumah sakit. Saya minta sopir taksinya menunggu, karena saya tahu susah cari taksi kosong di hari lebaran gini.

Sesampai di PMI.. eh petugas lama sekali dipanggilnya. Ntah ngapain mereka didalam. Sempat dongkol..., kayak gak tahu orang sedang dag dig dug, gelisah. Setelah surat pengantar dibaca, petugas menanyakan, 'Sudah bawa pendonor sendiri?'. Saya jawab 'Sudah'. Walaupun dalam hati sebenarnya teriak... masak sih mau cari/beli darah harus bawa pendonor sendiri? Hiks.. tapi sabar deh.. mungkin lebih sedikit pendonor daripada yang perlu darah.

Segera calon pendonor diperiksa. Persiapan administrasi ini hingga siap diambil darah perlu waktu sekitar sejam :( menyedihkan... Jam 20.15 mbak Dina, kakak ipar saya kedua yang sedang menunggu di ruang ICU telepon ke hp saya. Sambil nangis...'Ya... cepat kerumah sakit sekarang. Tinggalin aja mereka. Ibu sudah kehabisan oksigen'. Ntah gimana ngomongnya, tapi dengar suara dia, saya sudah panikkk... secepatnya saya bilang ke tetangga yang saya bawa itu, 'Pak, saya ke rumah sakit duluan ya... Maaf'. Sopir taksi saya minta ngebut dari jln. Aceh ke RS Advent. Malam itu jalanan di Bandung agak sepi, selain lebaran juga karena hujan. Jam 20.25 sampai di RS Advent. Di argometer tertera Rp 25.800, uang 50ribuan saya berikan ke pak sopir sambil bilang...'Ambil aja pak' dan kabur ke lantai 2.

Di ruang ICU sudah ada bapak saya, mas Agus, kakak dan ibu tiri ibu, serta mbak Dina. Saya, Leni, dan mas Bim menyusul. Tampak para dokter sudah memberikan bantuan pernapasan menggunakan penyengat ke dada, memacu jantung atau paru-paru ya(?). Di mesin pemantau tampak detak jantung ibu sudah melemah. Awalnya, saya bingung... apa yang harus saya lakukan pada kondisi kritis seperti ini. Semua membaca doa di mulut. Saya ingat sebelum balik dari Hamburg, mbak Ida memberikan buku kecil yang berisi surat Yassin. Saya mulai membacanya.... dengan menangis, tetesan air mata. Selang 10 menit... saat ayat terakhir saya bacakan, tepatnya 20.35 ibu meninggal dunia dengan tenang.

Ada yang tiba-tiba hilang di hati...... susah diungkapkan. Saya seka air mata kemudian mencium ibu.... Ingat dulu guru agama di sma bilang 'Kita gak boleh meneteskan air mata di atas jenazah'. Iya? Malam itu setelah mencium ibu, rasanya saya bisa tidak menangis di atas tubuhnya. Juga saat memandikannya di depan rumah kami jam 12 malam. Hanya saya, mas Agus, mas Bim, dan mbak Dina, dari anak dan menantunya yang ikut memandikan beliau. Mas Is masih di Jakarta malam itu, baru sampai di depan rumahnya, balik lagi ke Bandung, karena kami menelponnya memberitahu ibu telah meninggal dunia.

Jenazah ibu tidak langsung dibungkus kain kafan, tinggal wajahnya yang belum ditutup, menunggu mas Is datang. Malam itu rumah kami ramai sampai subuh. Jam 3 pagi mas Is datang, mencium ibu, dan kemudian bagian wajahpun ditutup.

Beliau dimakamkan tanggal 7 Desember 2002 di makam keluarga di Sukabumi.


0 Comments:

Post a Comment

<< Home