Friday, December 30, 2005

Anak Semata Wayang


Awal liburan musim dingin kemarin, tanggal 25 Desember 2005 kami sekeluarga ke Göttingen. Selama 3 hari 2 malam kami menginap dirumah Teguh-Yanti. Hari Selasa, 27 Desember 2005 saya dan mas Agus balik ke Hamburg. Bilah masih ingin bermain dan menginal di Göttingen, karena Yumna anak mereka adalah teman bermainnya saat di Hamburg dulu.


Jadi selama 4 hari, Selasa hingga Jumat kami dirumah berdua. Tanpa Bilah disisi kami rumah rasanya sepiiii.... dan ternyata justru membuat kami tidak bergairah. Hari-hari rasanya lamaaa... berlalu. Terlebih saat malam tiba, biasanya Bilah asik bercerita tentang kegiatannya seharian dan dia suka ingin mendengarkan apa yang saya lakukan seharian. Kalau orang bilang... berduaan bisa asik lagi... ah... gak semuanya benar. Ada asiknya beberapa waktu doang :D, namun sehari-hari sepiiii sepiii... dan rindu... serasa ada yang 'hilang'.... hmmm lama banget 4 hari tanpanya.

Sore ini Bilah akan datang..... uhhh rindu memeluk dan menciumnya....



Friday, December 16, 2005

Liebe Gruesse von Hasna

Sunday, December 11, 2005

Dua Anak Tercinta



Ceria di bulan Juli 2005 setelah dua tahun mereka terpisah. Foto di atas diambil di Yonas Studio, Bandung saat saya dan Bilah berlibur ke Indonesia liburan musim panas kemarin.

Dulu sebelum saya menikah, saya suka ikut merawat dan sayang sekali Fajar Ramadhan, anak kakak yang kedua. Fajar lahir di Bandung, 11 Februari 1995. Sejak bayi saya ikut merawat, menggendong, menyuapi, sampai mengajaknya berjalan-jalan. Setiap ke toko tak lupa membelikan sesuatu untuknya. Hasna Nabilah, anak perempuan saya lahir 2 tahun kemudian berbeda 4 hari, tepatnya tanggal 15 Februari 1997.

Keduanya menjadi anak-anak tercinta. Ingat mendiang ibu kalau kami membicarakan Fajar, beliau selalu menyebut Fajar dengan kata-kata "Anak laki-lakimu itu ..." dan otomatis saya tahu itu adalah Fajar.

Keduanya tumbuh di rumah kami bersama, Cibeunying Permai. Semenjak ibu saya meninggal dunia akhir 2002 lalu, kami sekeluarga tinggal di Hamburg. Fajar sedih sekali saat harus berpisah dengan Bilah.

Bisa dibayangkan betapa bahagianya mereka bertemu liburan kemarin. Banyak sifat dan sikap yang berubah diantara keduanya. Namun... rasa sayang tetap ada diantara mereka.

Masih ingat... saat paling membahagiakan saya adalah membawa mereka berdua pada suatu malam minggu ke Istana Plaza, Bandung. Keduanya sudah besar... dan benar-benar merasa punya anak dua orang.


@->-- Ich hab' euch sehr lieb --<-@

Thursday, December 08, 2005

Lebaran 2002 - Wafatnya Ibu (2)

Jam 7 malam

Kami segera berangkat ke PMI Bandung di Jalan Aceh. Masih naik taksi yang sama dari rumah sakit. Saya minta sopir taksinya menunggu, karena saya tahu susah cari taksi kosong di hari lebaran gini.

Sesampai di PMI.. eh petugas lama sekali dipanggilnya. Ntah ngapain mereka didalam. Sempat dongkol..., kayak gak tahu orang sedang dag dig dug, gelisah. Setelah surat pengantar dibaca, petugas menanyakan, 'Sudah bawa pendonor sendiri?'. Saya jawab 'Sudah'. Walaupun dalam hati sebenarnya teriak... masak sih mau cari/beli darah harus bawa pendonor sendiri? Hiks.. tapi sabar deh.. mungkin lebih sedikit pendonor daripada yang perlu darah.

Segera calon pendonor diperiksa. Persiapan administrasi ini hingga siap diambil darah perlu waktu sekitar sejam :( menyedihkan... Jam 20.15 mbak Dina, kakak ipar saya kedua yang sedang menunggu di ruang ICU telepon ke hp saya. Sambil nangis...'Ya... cepat kerumah sakit sekarang. Tinggalin aja mereka. Ibu sudah kehabisan oksigen'. Ntah gimana ngomongnya, tapi dengar suara dia, saya sudah panikkk... secepatnya saya bilang ke tetangga yang saya bawa itu, 'Pak, saya ke rumah sakit duluan ya... Maaf'. Sopir taksi saya minta ngebut dari jln. Aceh ke RS Advent. Malam itu jalanan di Bandung agak sepi, selain lebaran juga karena hujan. Jam 20.25 sampai di RS Advent. Di argometer tertera Rp 25.800, uang 50ribuan saya berikan ke pak sopir sambil bilang...'Ambil aja pak' dan kabur ke lantai 2.

Di ruang ICU sudah ada bapak saya, mas Agus, kakak dan ibu tiri ibu, serta mbak Dina. Saya, Leni, dan mas Bim menyusul. Tampak para dokter sudah memberikan bantuan pernapasan menggunakan penyengat ke dada, memacu jantung atau paru-paru ya(?). Di mesin pemantau tampak detak jantung ibu sudah melemah. Awalnya, saya bingung... apa yang harus saya lakukan pada kondisi kritis seperti ini. Semua membaca doa di mulut. Saya ingat sebelum balik dari Hamburg, mbak Ida memberikan buku kecil yang berisi surat Yassin. Saya mulai membacanya.... dengan menangis, tetesan air mata. Selang 10 menit... saat ayat terakhir saya bacakan, tepatnya 20.35 ibu meninggal dunia dengan tenang.

Ada yang tiba-tiba hilang di hati...... susah diungkapkan. Saya seka air mata kemudian mencium ibu.... Ingat dulu guru agama di sma bilang 'Kita gak boleh meneteskan air mata di atas jenazah'. Iya? Malam itu setelah mencium ibu, rasanya saya bisa tidak menangis di atas tubuhnya. Juga saat memandikannya di depan rumah kami jam 12 malam. Hanya saya, mas Agus, mas Bim, dan mbak Dina, dari anak dan menantunya yang ikut memandikan beliau. Mas Is masih di Jakarta malam itu, baru sampai di depan rumahnya, balik lagi ke Bandung, karena kami menelponnya memberitahu ibu telah meninggal dunia.

Jenazah ibu tidak langsung dibungkus kain kafan, tinggal wajahnya yang belum ditutup, menunggu mas Is datang. Malam itu rumah kami ramai sampai subuh. Jam 3 pagi mas Is datang, mencium ibu, dan kemudian bagian wajahpun ditutup.

Beliau dimakamkan tanggal 7 Desember 2002 di makam keluarga di Sukabumi.


Tuesday, December 06, 2005

Lebaran 2002 - Wafatnya Ibu (1)

6 Desember 2002

Hari ini tiga tahun yang lalu.... bertepatan juga dengan hari lebaran.

Subuh

Bangun tidur, langsung mandi, dan buru-buru ke RS Advent. Hari itu bertepatan dengan hari Lebaran. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk sholat Ied. Karena hari itu saya berhalangan, maka sesuai kesepakatan saya harus secepat sampai di RS Advent pagi itu untuk menggantikan kedua kakak saya yang jaga Ibu di ruang ICU.

Angkot susah dicari, mungkin mereka juga mempersiapkan diri. Ditemani Leni, sepupu yang kuliah di Bandung waktu itu, saya berusaha juga mencari taxi, namun tetap tidak ada. Akhirnya perjalanan ke RS Advent dari Cibeunying memerlukan waktu hampir satu jam pagi itu menggunakan angkot.

Berdua jaga ibu pagi itu diruang ICU. Kondisi ibu saat itu sudah bisa dibilang kritis, hmm bahkan tidak ada respon apapun setelah semalam cuci darah. Malam takbiran, malam sebelumnya, saya habiskan waktu di ruang ICU itu menemani beliau cuci darah *paksa* karena dilakukan dengan tanda tangan dari kakak pertama saya, bukan kehendak beliau lagi. Sudah seminggu beliau tak sadarkan diri.

Jam 10 Pagi

Setelah sholat Ied, keluarga kakak-kakak, mas Agus dan Bilah datang ke rumah sakit. Saya bersalaman di ruang tunggu ICU. Mereka membawakan ketupat dan beberapa macam lauk untuk saya dan Leni yang tidak sempat sarapan tadi. Dari rumah sakit saya telepon ke orang tua mas Agus (di Kebasen) untuk bersilahturahmi dan mohon maaf, ntah kapan bisa berkunjung ke mereka karena saya masih ingin menemani ibu. Alhamdulillah mereka mengerti.

Tak berapa lama, datang juga tante-tante yang di Bandung dan keluarganya. Jam besuk pagi itu penuh... tiap orang ingin bersalaman dan cium tangan ke ibu. Banyak yang berkunjung, pagi itu kami masing-masing cuma bisa sekali masuk ke ICU karena harus gantian.

Is (kakak pertama) bilang... mau balik ke Jakarta dulu ya, kerumah mbak Lya (kakak ipar). Mau ke mertua dulu ya. Saat itu... saya ingin menahan dia untuk tetap di Bandung. Cuma... ada rasa segan, karena ada mbak Lya disitu (gak enak ama ipar). Sebelum Is pergi, dia sempat bilang ke saya.. 'coba kamu nanya dong ke dokternya... apa ibu gak tersiksa dengan kondisi demikian? apa gak baiknya di(----cut----)?' Saya sedih... marah dengernya 'Kalau suruh nanya kondisinya gak apa-apa, tapi mempertanyakan untuk di(----cut----), gak mau. Gak akan mau sampai kapanpun! Kalau Allah menghendaki beliau Insya Allah dengan sendirinya Is'.

Pecah lagi... nangis. Ini sudah kesekian kalinya kami bertengkar masalah kasihan dan takdir serta apa yang harus dilakukan saat melihat ibu 'tersiksa' dengan selang-selang dan kondisi tubuh yang makin kurus, tak sadarkan diri. Doa saya 'Ya Allah ... jangan menyiksa ibu, beliau ibu yang paling baik dan gak pernah menyiksa anak-anaknya dan juga orang lain. Kalau menghendaki sembuh, segerakanlah, jangan dengan penderitaannya.'

Nangis.... di ruang tunggu ICU RS Advent.

Sore

Jam besuk sore saya, Leni, dan Wak Yin (kakak Ibu) jaga bertiga. Tidak ada pengunjung lain selain kami bertiga. Semua sibuk lebaran. Is jadi balik ke Jakarta bersama anak-anaknya. Bim (kakak kedua) sekeluarga ke rumah mertuanya. Sepi! Sepi! Kami bertiga dapat bergantian masuk selama 1 jam penuh, menemani ibu.

Sore itu AC diruang ICU sempat dibetulkan, sehingga harus dimatikan dulu beberapa waktu. Jendela kamar dibuka oleh suster rumah sakit agar tak terlalu panas. Udara segar dari taman rumah sakit membuat suasana lebih sejuk. Tiba-tiba seekor kupu-kupu masuk dan hinggap di kaki ibu. Wak Yin berusaha mengusirnya... 'menurut adat cina, gak baik kalau orang sakit kedatangan kupu-kupu' katanya. Jadi ingat film Putri Wang Shue (bener gak nulisnya ya?), film kegemaran ibu, digambarkan di film itu saat sang putri wafat kupu-kupu datang menjemput arwahnya.

Jam 7 malam

Kami masih bertiga diruang tunggu ICU. Bim dan mbak Dina yang sedianya mau gantikan jaga belum datang juga. Hujan deras di hari lebaran itu.

Tiba-tiba muncul seorang suster.. 'Keluarga Ibu Sinta?' Saya kaget langsung berdiri. 'Tolong anda cari darah secepatnya bawa kesini ya. Ini surat buat PMI. Cepatnya. Harus sekarang' kata-kata si suster langsung bikin gemetar kaki. Bingung... saya telpon ke rumah. Bim dan mbak Dina sudah berangkat. Saya kabarkan perlu pendonor golongan darah O, sekarang juga. Saya telpon beberapa anggota keluarga yang saya tahu golongan darahnya O, semua sedang keluar. Mungkin karena hari itu hari lebaran. Telpon semua teman-teman Leni, yang dia tahu bukan muslim dan tetap tinggal di Bandung.

Setelah Bim dan mbak Dina sampai di rumah sakit, kami bertiga pulang ke rumah naik taksi yang kebetulan kosong lewat di depan rumah sakit. Sampai dirumah ada dua menantu bu Husna (tetangga depan rumah) yang golongan darahnya O. Tanpa menunggu, kami pergi ke PMI.

Saat itu... Bilah menangis 'ibu gak boleh pergi lagi.. belum main sama bilah' Deg... memang seminggu sejak saya pulang dari Jerman mendadak, saya cuma di rumah sakit saja. Belum pernah bermain dengannya. Tambah pengin nangis rasanya. Fajar (kakak iparnya) memeluk Bilah sambil berkata 'Dik... biar ibu nganterin ke PMI dulu, cari darah buat Eni' (nenek). Kalau nggak ntar eni' meninggal lho'. Sempat deg... terharu juga kami mendengar kata-kata Fajar. Dengan kata-kata itu Bilah akhirnya luluh membiarkan saya pergi ke PMI bersama Leni dan kedua menantu bu Husna.

(bersambung)


Saturday, December 03, 2005

10 Tahun

3 Desember 2005

Hari ini ulang tahun pernikahan kami yang ke-10. Tanggal 3 Desember 1995 (bertepatan pada hari Minggu tahun itu) adalah hari paling bersejarah, berbahagia bagi kami berdua. Kami menyelenggarakan akad nikah di Cibeunying Permai, Bandung, rumah orang tua saya pada pagi hari jam 10. Malam harinya, jam 19, kami menyelenggarakan resepsi pernikahan di Puri Cipaganti. Dihadiri teman-teman dan keluarga, malam itu walaupun sederhana, kami merasa cukup meriah dan megah.

Hari ini... sabtu, 3 Desember 2005, setelah 10 tahun banyak yang berubah mengenai jalan hidup kami berdua. Kehadiran Bilah (saat ini berumur 8 tahun 10 bulan) , putri tercinta kami, membuat suasana rumah makin meriah, makin membuat kami berdua tahu dan mengerti beratnya tanggung jawab sebagai orang tua, makin membuat kami makin mengerti satu sama lain. Jalan hidup kami pun berpindah. Saat saya di Bandung bersama Bilah, Ag harus di Jakarta karena dia kerja di Jakarta, selama 7 tahun hidup kami selalu terpisah antara Jakarta - Bandung (1995-1999), antara Bandung - Jerman (2000 - 2002), antara Bandung - Jakarta - Jerman (kami bertiga sempat berpisah selama sebulan di masing-masing kota. Saya di Hamburg, Ag di Jakarta, dan yang paling menyedihkan kami harus meninggalkan Bilah 'sendiri' di Bandung).

Alhamdulillah... sejak awal 2003 kami dapat berkumpul bertiga di Hamburg hingga saat ini. Saat paling membahagiakan kami karena kami disini benar-benar hidup bertiga, memiliki kehidupan berkeluarga, menikmati jalan-jalan bertiga, menikmati hari-hari diantara sommer dan winter bertiga...

Perubahan jalan hidup kami selama 10 tahun.... perubahan cinta kami berdua menjadi bertiga bersama Bilah.

Semoga Allah selalu melindungi keluarga kami. Amien.

Friday, December 02, 2005

Bandung, 1 Desember 1995

Pengajian

Dua hari menjelang tanggal 3 Desember 1995 rumah kami kedatangan banyak tamu. Saudara-saudara ibu dari Jawa Timur sudah berdatangan sejak pagi. Ramai... Ada beberapa keluarga yang membawa anak-anaknya. Hampir semua nginep dirumah. Full hause deh... :D

Ibu mengundang ibu-ibu kelompok pengajian di Cibeunying Permai. Siang jam 2 acara dimulai. Banyak yang datang, hampir 50-an orang, belum lagi beberapa keluarga juga datang. Padahal ruangan tamu dirumah cuma seukuran 3x4meter. Alhamdulillah cukup.

Sore hari keluarga Ag datang dari Jawa Tengah. Mereka menginap di penginapan kecil di Sadang Serang. Agak dekatlah dari rumah.....

Udah deg-degan... hehehe...